Pages

Thursday, June 18, 2009

Perang Indonesia-Malaysia di dunia lain...(12)

Ancol, Jakarta

Beberapa orang nelayan sedang duduk-duduk sambil menikmati kopi masing-masing sehabis berlayar. Matahari bersinar dengan terik di angkasa. Meskipun begitu Ancol dengan dunia fantasinya dan pemandanganya masih merupakan salah satu pilihan bagi warga Jakarta untuk melakukan refreshing dan liburan. Operasi besar-besaran pada tahun 2008 berhasil secara drastis mengurangi jumlah sampah yang berada di pantai tersebut, mengakibatkan naiknya jumlah pengunjung. Terlihat beberapa kapal besar sedang mendekati Pelabuhan Tanjung Priok, kapal dagang seperti kapal-kapal tersebut akhir-akhir ini memang memenuhi alur keluar masuk pelabuhan. Mencerminkan ekonomi Indonesia yang tumbuh setiap harinya.

“Bagaimana hasil pencaharian bapak hari ini?” tanya salah seorang dari nelayan tersebut.

“Baik pak, akhir-akhir ini penghasilan rasanya semakin tumbuh, gak tau kenapa, kelihatannya dikarenakan oleh sampah-sampah yang sekarang makin berkurang Pak Joopit,”

“Kelihatannya pemerintah kita berhasil juga, saya salut sama mereka pak,” kata salah seorang lagi.

“Allah akbar, Allah akbar,” terdengar suara adzan dari arah masjid dekat Ancol. Waktu Dzuhur sudah tiba di Jakarta dan sekitarnya.

“Oh ya sudah, saya mau ke Masjid dulu ya pak,” pamit salah satu nelayan.
Nelayan lainnya pun mulai bubar, “Ya sudah, mari kita semua berangkat ke masjid.”

Joopit melihat enam buah kapal mendekati pantai, “Kapal apa ya itu, kenapa dia malah berlayar makin dekat kesini?”

“Wah, benar kapal apa ya?” tanya yang lain dengan kebingungan. Enam kapal motorboat kecil tersebut ternyata di keluarkan dari sebuah kapal kargo besar yang sekarang sedang mendekati Pelabuhan Tandjung Periok. Kapal tersebut anehnya tidak mengibarkan bendera apa-apa, tetap semua badan kapal dicat seperti kapal kargo biasa.

Kapal kecil yang terdepan berlayar makin mendekati pantai Ancol, tiba-tiba awak kapal tersebut menarik kain yang melindungi haluan depan kapal. Terlihat sebuah senapan mesin dengan dua laras yang siap menembak.

“Tiarap!!” teriak Joopit tepat begitu kapal motorboat kecil tersebut memulai menembak. Secerca darah terciprat ke mukanya, bersamaan dengan jatuhnya dua nelayan yang lain. Lima kapal lainnya pun berbuat hal yang sama dan mulai menyapu pantai Ancol dengan tembakan senapan mesin. Terlihat beberapa orang turis yang sedang berjemur di pohon langsung tertembak dan tewas. Situasi sudah berubah menjadi kacau. Dimana-mana orang berlari tanpa tujuan mencoba berlindung. Anak-anak sekolahan yang sedang berlibur dan sekarang sedang bermain di pantai juga bukan pengecualian. Guru mereka yang malang tertembak lalu terjatuh lemas di antara anak anak yang sedang panik tersebut. Darah tersirat kemana-mana. Pantai Ancol dalam sekejap berubah menjadi sesuatu tempat pembantaian.

Di bawah peluru yang beterbangan Joopit berusaha menolong beberapa nelayan dan para pengunjung Ancol yang lain untuk berlindung di belakang batang pohon kelapa yang terjatuh. Terlihat lagi enam kapal tersebut mulai menepi di tepi pantai. Beberapa tentara bersenjata berbaju loreng melompat keluar dari kapal tersebut. Mereka maju lalu memuntahkan peluru ke orang-orang yang sedang berlindung ketakutan. Orang-orang yang tidak berdaya tersebut semua mati terbunuh dengan kejam. Joopit tidak dapat menahan melihat pemandangan tersebut. Darah merah mengalir ke otaknya, ia tahu ia harus melakukan sesuatu.

Dari enam kapal kecil tersebut salah satunya menepi dekat di mana Joopit sekarang sedang berlindung. Kapal tersebut sekarang sedang berada dalam posisi kosong. Siapapun penyerangnya yang pastinya mereka bodoh tidak menjaga kapal mereka tersebut. Instingnya seperti menginstruksikan kakinya untuk bergerak dan berlari, “Joopit kamu mau kemana?!” salah satu nelayan mencoba untuk menghalau Joopit. Tapi ia tetap berlari tanpa melambat.

Dengan cekatan ia langsung melompat ke kapal tersebut, “Mati kamu semua!!”teriaknya sambil menekan platuk senapan mesin yang sekarang sedang berada di depannya. Gagal, ternyata tidak ada peluru yang siap untuk ditembakan. Joopit tidak rela bakal kehilangan momen heroiknya, kebetulan sebuah senapan otomatis berbaring tepat di bawah senapan mesin tersebut. Ia langsung meraih dan dengan cepat membidikannya ke arah salah satu tentara berbaju loreng tersebut, “Dor..dor..dor.,” tentara tersebut langsung jatuh lemas tak berdaya tepat ironisnya diatas orang-orang yang baru saja ia bunuh.

“Ctang...ctong.,” suara peluru berdentingan dengan besi alumunium kapal, beberapa tentara lain mencoba membalas menembak Joopit. Ia tidak peduli, lalu kembali mengarahkan senapannya ke arah tentara yang lain. Satu persatu tentara loreng tersebut jatuh tak berdaya. Di bawah tembakan peluru Joopit yang sempat tiarap terus merangkak mau, menembakan senapannya tanpa ampun ke arah tentara-tentara tersebut, “Cuma bisa bunuh orang kalian semua!” teriaknya, “Lawan saya kalau berani!”

Nelayan lain yang sedang menonton dari jauh terperangah, tidak mereka duga bahwa Joopit si sang penakut berani berbuat hal senekat itu. Salah satu dari mereka kemudian berdiri, “Ayo! Joopit aja bisa, ayo kita lawan!!” ia berseru semangat sambil berlari-lari ke arah beberapa tentara loreng tersebut yang sekarang sepertinya sudah shock, “Ayo untuk Indonesia, maju!!” beberapa orang pemuda yang masih selamat juga sekarang ikut berlari, mengambil senapan-senapan tentara tersebut yang terjatuh lalu mulai ikut menembak.

Pertempuran sengit tak terelakkan. Beberapa tentara loreng yang masih selamat masih mencoba bertahan. Mereka berhasil menembak beberapa pemuda-pemuda dan nelayan yang mencoba menyerang. Joopit melihat pohon kelapa di samping tempat perlindungan tentara tersebut. Batangnya lumayan besar, pastinya berat, “Semuanya tembak pohon kelapa itu!!” teriak Joopit, “Dor..dor.dor....dor.dor..dor!!” batang pohon kelapa tersebut mulai retak.

“Terus tembaaa—“ sebuah peluru mengenai bahu Joopit, ia langsung jatuh tetapi terus menembakan senapan otomatisnya sampai habis satu magasen, “Tembaak, jangan berhenti!” teriaknya lagi. Kini semua nelayan dan pemuda-pemuda menembak, tembakan mereka memang tidak akurat tapi sudah cukup ampuh untuk akhirnya menjatuhkan batang pohon kelapa tersebut. Tentara-tentara loreng tersebut sangat terkejut ketika melihat sebuah batang kelapa besar jatuh kearah mereka, tetapi sudah terlambat, “Gedebug!”

Enam tentara terkulai lemas tertimpa batang pohon kelapa, salah satu dari mereka masih mencoba meraih senjatanya namun langsung di habisi oleh beberapa pemuda dan nelayan lainnya yang sudah marah dan geram. Beberapa orang lain yang selamat juga ikut-ikutan menghajar tentara-tentara yang sudah tidak berdaya tersebut, “Kita menang Joopit!!” teriak mereka semua dengan gembira. Joopit sendiri masih merasakan sakitnya peluru yang sekarang sedang bersarang di dagingnya. Ia berusaha untuk mengangkat tangannya namun malah makin sakit, “Aduh...” ia mengerinyit kesakitan.

“Kamu tidak apa-apa Joopit? Gara-gara kamu kita bisa membantai semua tentara-tentara ngak jelas ini.”

“Sakit aduh Mamun, kamu ini jangan pegang-pegang bahu saya!” Joopit memukul tangan teman nelayannya dengan keras karena kesakitan.

“Aduh maaf—“

“Blaar, boom!!” Terdengar beberapa ledakan secara tiba-tiba dari arah pelabuhan dan kota Jakarta disertai dengan mengepulnya asap dari berbagai tempat, Joopit sadar tugasnya belum selesai. Tentara loreng tersebut tampaknya sekarang sudah memasuki kota Jakarta. Pertempuran Ancol ini... hanyalah sekedar pembuka saja. Pertempuran Jakarta baru saja akan dimulai...

No comments:

Post a Comment